Aktivitas Fisik Berat, Risiko Infertilitas Meningkat
Kebutuhan untuk terlihat fashionable dan hidup sehat menimbulkan trend olahraga baru seperti berolahraga di gym atau fitness, street workout atau bar training dan total resistence exercise. Berdasarkan suatu penelitian dengan subjek mahasiswa di Indonesia, didapatkan data bahwa 5,4% enggan mencoba olahraga baru, 46,2% mahasiswa melakukan atau mencoba olahraga baru tersebut dengan alasan mengikuti trend, 40,9% mahasiswa ikut-ikutan dengan ajakan orang terdekat mereka seperti keluarga dan teman, dan hanya 7.5% mahasiswa yang melakukan olahraga tersebut atas dasar ketertarikan pribadi. Dari penelitian tersebut terlihat seberapa besar pengaruh trend terhadap aktivitas fisik yang dilakukan suatu individu.
Namun, kegiatan yang bertujuan baik ini bisa menjadi bumerang yang menyebabkan penyakit dan berkurangnnya fungsi organ jika dilakukan dengan berlebihan dan tidak diikuti dengan istirahat serta pola makan yang sehat. Lantas, apa bahaya dari trend ini?
Aktivitas Fisik Berat dan Infertilitas
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis. Namun, berlebihnya aktivitas fisik juga merupakan faktor risiko untuk berbagai macam gangguan dalam tubuh seperti parkinson, tremor, penyakit jantung, dan infertilitas. Aktivitas fisik berat didefinisikan sebagai aktivitas yang membakar lebih dari 7 kilo kalori per menit atau pengerahan tenaga lebih besar dari skala 15 pada Borg scale. Aktivitas fisik berat juga merujuk pada satu tingkatan dari usaha pada suatu aktivitas yang setara atau lebih dari 6 METs (metabolic equivalent). MET merupakan standar satuan yang digunakan untuk memperkirakan jumlah oksigen yang digunakan oleh tubuh selama aktivitas fisik. Semakin keras tubuh bekerja selama kegiatan, semakin banyak oksigen yang dikonsumsi dan semakin tinggi tingkat MET. Beberapa kegiatan yang digolongkan aktivitas fisik berat antara lain berlari jarak jauh, mendaki, bersepeda cepat atau menanjak bukit, senam aerobik high-impact, berenang beberapa lap terus menerus, membawa muatan berat (>20 kg) dan berbagai physical fitness (meliputi muscular fitness dan cardiorespiratory fitness) dengan durasi berlebihan (>150 menit per minggu atau >2 jam sehari non stop).
Studi membuktikan bahwa aktivitas fisik dengan intensitas berat dapat meningkatkan risiko infertilitas. Infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang ditandai suatu kegagalan untuk mencapai kehamilan klinis setelah satu tahun (12 bulan) melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Berdasarkan The International Committee for Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART) dan World Health Organization (WHO), terdapat tiga faktor yang menjadi indikator penting dalam memberikan informasi tentang fertilitas suatu pasangan di masa yang akan datang yaitu adanya hubungan seksual secara teratur, lamanya berusaha dan tidak menggunakan kontrasepsi. Jika durasi infertilitas kurang dari 3 tahun, maka pasangan tersebut memiliki kesempatan yang lebih baik untuk hamil di waktu yang akan datang. Tetapi jika durasinya sudah cukup lama artinya lebih dari 3 tahun, maka kemungkinan terdapat masalah biologis yang berat pada pasangan tersebut. Adapun di Indonesia, prevalensi infertilitas pada pasangan usia subur (PUS) adalah sebesar 12% atau sekitar 3 juta pasangan suami-istri. Hasil survei gagalnya kehamilan pada pasangan yang sudah menikah selama 12 bulan menyatakan 40% disebabkan infertilitas pada pria, 40% disebabkan infertilitas pada wanita, 10% dari pria dan wanita dan 10% tidak diketahui penyebabnya. Survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 524 (5,1%) dari 10205 PUS yang menderita infertilitas merupakan atlet atau mantan atlet.
Terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan keterkaitan antara aktivitas fisik berat dan risiko infertilitas meningkat. Pertama, aktivitas fisik berat khususnya pada pria dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan motilitas spermatozoa. Penelitian tentang aktivitas fisik berat dan berlebihan atau physical stress menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) dalam seminal plasma dan penurunan perlindungan oleh antioksidan. Sitoplasma sel spermatogenik mengandung sejumlah kecil scavenging enzyme, namun enzim antioksidan intrasel ini pun tidak mampu melindungi membran plasma yang melingkupi akrosom dan ekor sperma dari serangan ROS. Pada aktivitas fisik berat, jumlah antioksidan intrasel tidak mampu menetralisir ROS dan akan berdampak pada kerusakan jaringan testis terutama tubulus seminiferus. Kerusakan testis mengakibatkan penurunan jumlah testoteron total. ROS yang banyak ditemukan di dalam testis tersebut akan menginduksi kerusakan secara biomolekul seperti menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan merusak membran sel sehingga mengakibatkan kerusakan struktur, fungsi dan motilitas spermatozoa.
Kedua, aktivitas fisik berat akan menyebabkan penumpukan radikal bebas dalam tubuh atau stress oxidative. Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik berupa atom maupun molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya, dan bila senyawa ini bertemu dengan radikal baru akan terbentuk radikal baru lagi dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Aktivitas fisik merangsang respon biokimia dan fisiologis yang kompleks. Setiap gerakan otot yang cepat dimulai dengan metabolisme anaerobik. Sumber energi metabolisme tersebut berasal dari pemecahan Adenosin Triphosphate (ATP) dengan hasil Adenosin Diphosphate (ADP) dan berlangsung di mitokondria. Pelepasan energi ini disertai dengan meningkatnya aliran elektron dalam rangkaian respirasi mitokondria sehingga terbentuk oksigen reaktif superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2) dan upaya pembentukan ATP. Pelatihan dalam bentuk aktivitas berat cenderung mengosongkan ATP dalam waktu singkat dan meningkatkan jumlah ADP. Jumlah ADP yang meningkat itu pula tentunya merangsang ADP katabolisme dan konversi Xanthine dehydrogenase menjadi Xanthene oxidase. Xanthene oxidase inilah akan membentuk radikal bebas (O2-). Terbentuknya radikal bebas menyebabkan ketidakseimbangan yang disebut sebagai stress oxidative dengan hasil akhir rusaknya lemak, protein dan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Implikasi asupan radikal bebas berlebih berujung pada penghambatan produksi sperma dan polycstic ovarian syndrome (PCOS). Kedua hal tersebut berpengaruh nyata terhadap peningkatan risiko infertilitas baik pada pria maupun wanita.
Ketiga, aktivitas fisik berat akan menyebabkan sekresi adrenalin berlebihan dan peningkatan level prolaktin. Kondisi physical stress memicu kelenjar adrenal bekerja lebih keras untuk mensekresikan hormon adrenalin dan kortisol secara konstan. Apabila kondisi tersebut berlanjut, pengaturan aktivitas kelenjar adrenal akan menurun atau insufficient sehingga kelenjar adrenal mampu mensekresikan beberapa hormon secara berlebihan. Sekresi berlebihan hormon adrenalin mengakibatkan terhambatnya sekresi progesteron yang penting dalam proses konsepsi rahim untuk menerima janin. Sekresi adrenalin berlebih juga menstimulasi kelenjar pituitari untuk meningkatkan level prolaktin yang bekontribusi besar pada kasus infertilitas. Suatu penelitian menemukan bahwa konsentrasi hormon prolaktin lebih tinggi pada subjek yang melakukan aktivitas olahraga berat dibandingkan dengan subyek yang melakukan aktivitas olahraga normal. Prolaktin akan menghambat GnRH dan FSH yang berkontribusi terhadap pengembangan dan pematangan telur dalam indung telur. Dengan kata lain, peningkatan kadar prolaktin dalam darah akan menghentikan ovulasi dan mencegah kehamilan pada wanita. Kondisi hormon prolaktin yang tinggi atau Hiperprolaktinemia pada pria juga dapat menyebabkan rendahnya produksi sperma, kurang aktifnya gerak sperma, serta banyaknya sel sperma yang tidak berkembang dengan baik.
Jika seseorang wanita didiagnosis mengalami infertilitas, tinggi risikonya ia sudah terserang kelainan serviks, kelainan uterus, dan endometriosis. Risiko kelainan serviks dan kelainan uterus pada wanita yang mengalami infertilitas tiga hingga lima kali lebih tinggi dibanding seseorang fertil, sementara risiko endometriosis dua hingga tiga kali lebih tinggi. Sedangkan pada pria yang terdiagnosis infertilitas, tingga risikonya ia sudah mengalami kegagalan testis (faktor genetik dan hormonal) atau kerusakan langsung terkait anatomi (infeksi bakteri atau virus). Risiko kegagalan testis pada pria yang mengalami infertilitas satu setengah hingga tiga kali lebih tinggi dibanding seseorang fertil, sementara risiko kerusakan langsung terkait anatomi satu setengah hingga dua kali lebih tinggi.
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa aktivitas fisik berat dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan motilitas spermatozoa karena terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang mengakibatkan kerusakan struktur, fungsi dan motilitas spermatozoa. Aktivitas fisik berat juga dapat menyebabkan penumpukan radikal bebas dalam tubuh atau stress oxidative serta peningkatan sekresi adrenalin dan level prolaktin. Kondisi-kondisi diatas meningkatkan risiko telah terserang kelainan serviks, kelainan uterus, kegagalan testis dan berbagai kelainan lain.
Temukan dan Nikmati Esensi Aktivitas Fisikmu
Melihat berbagai masalah yang dapat muncul karena aktivitas berat, tentu lebih baik jika kita menurunkan intensitas aktivitas kita. Mengubah kebiasaan memang tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi jika sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Namun, dengan mengetahui bagaimana tips menurunkan intensitas dan terus melatihnya, seseorang yang sudah terbiasa beraktivitas fisik berat akan mampu menemukan esensi aktivitas sehingga tetap memperhatikan faktor kesehatan. Berikut ini tipsnya.
Mulailah dengan mengubah lingkungan tempat melakukan aktivitas. Pilih tempat yang tenang, nyaman dan usahakan jauh dari keramaian. Hindari terlalu sering berkumpul dengan komunitas yang gemar melakukan aktivitas berat. Seseorang cenderung meningkatkan intensitas aktivitasnya ketika melihat orang lain di sekitarnya tengah melakukan hal yang sama. Fokuslah terhadap diri kita sendiri. Hindari mendengar musik rock, heavy metal atau extreme upbeat saat beraktivitas. Jika rasanya sulit untuk fokus terhadap apa yang dilakukan, mungkin melakukan hal yang sedikit berbeda bisa membantu. Mencoba berbagai macam alat fitness di pusat kebugaran diluar kebiasaan dengan durasi sedang membantu memusatkan perhatian pada apa yang anda lakukan. Dengan berfokus terhadap apa yang dilakukan, seseorang akan lebih menjiwai dan menemukan esensi aktivitas fisiknya.
Apabila hasilnya anda tetap melakukan aktivitas fisik berat, cara lainnya adalah membagi intensitas berat tersebut menjadi beberapa set dengan intensitas rendah sampai sedang atau kombinasi. Penggunaan durasi yang lebih singkat untuk setiap set disertai pemberian jeda atau interval antar set juga membantu anda untuk tetap pada jalur menghindari aktivitas fisik berat. Pergunakan waktu jeda tersebut untuk benar benar beristirahat atau mensuplai asupan nutrisi yang telah hilang pasca aktivitas fisik. Penelitian menunjukkan bahwa banyak orang tidak mendapatkan manfaat optimal karena beristirahat terlalu lama antar sesi latihan atau justru tidak beristirahat sama sekali. Istirahat dan asupan nutrisi yang cukup merupakan kompensasi yang tepat untuk aktivitas fisik berat
Kemudian, hindari melakukan aktivitas fisik dalam kondisi “menggebu-gebu”. Kondisi “menggebu-gebu” dan terlalu berhasrat sering dialami para pemula yang mencoba olahraga baru atau para trainee yang kembali mencoba suatu aktivitas setelah cukup lama vacuum. Sebelum melakukan aktivitas fisik, sebaiknya dimulai dengan pemanasan. Pemanasan sebelum olahraga akan “mempersiapkan” segala organ tubuh dan menginduksi pembentukan antioksidan alami melawan radikal bebas hasil aktivitas fisik.
Cara yang paling akurat adalah memakai monitor denyut jantung untuk mengetahui apakah seseorang telah mencapai intensitas latihan yang tepat. Monitor jantung kini terdapat dalam bentuk digital watch
dan aplikasi gadget. Apabila menginginkan terhindar dari aktivitas fisik berat, setel aplikasi monitor jantung hingga anda dapat mempertahankan detak jantung antara 50 sampai 70% dari detak jantung maksimum
Post a comment