← Back Published on

Cegah Tingginya Kasus Yang Melibatkan Anak, Melalui Optimalisasi Pola Asuh Tepat Dalam Keluarga

Cegah Tingginya Kasus Yang Melibatkan Anak, Melalui Optimalisasi Pola Asuh Tepat Dalam Keluarga

“Semua orangtua merusak anak-anak mereka. Tak bisa dihindari.

Anak-anak, seperti gelas cair, mengikuti bentuk yang dibuat oleh pencetak mereka. Sebagian orangtua membuatnya semakin jernih, sebagian membuat buram, sebagian lagi meremukkan masa kecil menjadi pecahan-pecahan yang tak mungkin lagi dapat diperbaiki.” (Mitch Albom)

Begitulah bunyi sajak puitis yang baru saja saya temukan pada buku “The Five People You Meet In Heaven”. Buku terbitan baru itu seakan mengajak kita semua untuk membuka pandangan lebih lebar lagi, lebih lebar untuk menyingkap berbagai kasus yang menimpa anak. Buku tersebut terbilang tak biasa. Menyoroti berbagai perihal mengenai anak, faktor “pembentuk” mereka, serta dunia yang sudah tidak aman lagi untuk mereka tinggali. Buku yang cukup menarik untuk dibahas, tetapi bukan buku itu yang menjadi aktor utama kali ini. Hal yang ingin disoroti buku itulah bintang sesungguhnya. Berbagai permasalahan yang menimpa anak di zaman modern ini ialah bintang utamanya.

Cobalah sejenak hadirkan sosok anak-anak di benak Anda. Bayangkan tingkah lugunya, suaranya, ketulusan mereka, cara ia tertawa, langkahnya ketika berjalan, atau guratan eskpresi di wajah mereka. Sudahkah Anda bayangkan? Kenyataannya, figur anak yang penuh kesedihan, ketakutan, ketidakpuasan dan keberingasan lebih mudah dijumpai di belahan dunia manapun saat ini. Siapakah yang bertanggung jawab atas penderitaan ini?

Gelombang arus modernitas telah memanipulasi segala aspek kehidupan di zaman sekarang ini. Berbagai dampak negatif terhadap lingkungan masyarakat kian terasa, salah satu korbannya adalah anak. Anak disini merujuk pada definisi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia yaitu seseorang yang berusia antara 0 sampai 18 tahun. Seorang anak dengan mudah melakukan adopsi kultural dalam bentuk pola pikir dan tindakan. Motivasi anak untuk mencoba hal-hal baru yang mampu memacu adrenalin, terkadang justru menimbulkan degradasi moral dan tindak kekerasan terhadap anak.

Data Kasus Perlindungan Anak Berdasarkan Lokasi Pengaduan dan Pemantauan Media tahun 2011-2016 setidaknya mencatat sejumlah 44.541 kasus yang melibatkan anak. Kasus-kasus tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku.

Kasus yang memposisikan anak sebagai korban, misalnya kasus klasik seperti penyalahgunaan narkoba (3.137 kasus). Kasus ini seolah tidak ada matinya dan tidak pernah ada solusi yang tepat dalam menangani hal tersebut. Kekerasan anak yang terjadi lingkungan sekolah (4.376 kasus) dalam bentuk kekerasan verbal dan fisik (bullying) juga terus terjadi karena kurangnya pemahaman atas hak asasi seseorang anak yang berada dalam sebuah institusi pendidikan. Selain kasus narkoba dan kekerasan anak di lingkungan sekolah, trafficking dan eksploitasi anak juga merajalela (4.037 kasus), dimana posisi seorang anak tidak ubahnya sebagai sebuah barang komoditi yang layak diperjualbelikan.

Pada kasus anak sebagai pelaku atau dengan istilah Anak Berhadapan Hukum (ABH) juga cukup banyak, yaitu sekitar 9.243 kasus. Tawuran pelajar yang disertai dengan kekerasan di jalan raya pada umumnya dilakukan anak dengan usia produktif sekolah. Berbagai tindak meresahkan oleh geng remaja seperti kebut-kebutan, mabuk minuman keras, hingga kasus pembunuhan kerap terdengar dalam pemberitaan media. Perampokan disertai perampasan harta benda (begal) yang marak terjadi belakangan ini juga menghiasi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak.

Opsi tersebut dipilih sebagai wujud kebebasan, perlawanan, dan ekspresi diri yang ditujukan kepada orang tua, teman maupun masyarakat sehingga memperoleh pengakuan, baik secara kultural maupun secara struktural. Hal inilah yang pada akhirnya melahirkan kekhawatiran dan ketakutan di tengah masyakarakat, khususnya para orang tua.

Tingginya angka kasus yang melibatkan anak lima tahun kebelakang menunjukkan masih kurangnya kesadaran dari orang tua dan pendidik di zaman modern ini terhadap isu perlindungan anak. Di sisi lain, tingginya angka anak sebagai pelaku kekerasan menunjukkan adanya faktor lingkungan baik keluarga, lingkungan sebaya atau masyarakat yang tidak kondusif bagi perlindungan anak. Fenomena ini menggambarkan bahwa masih terdapat nilai dalam masyarakat yang belum berfungsi secara benar.

Dalam kasus-kasus tersebut, pelaku tidak hanya anak-anak yang berasal dari keluarga yang broken home atau dengan tingkat ekonomi yang low-level, akan tetapi juga berasal dari keluarga harmonis dengan tingkat ekonomi yang high- level. Lantas, bagaimanakah jalan keluar dari permasalah ini?

Berbagai penelitian akhirnya menelisik bahwa dapat ditarik satu poin besar, faktor yang mendalangi permasalahan yang melibatkan anak. Faktor tersebut ialah keteguhan karakter atau karakter hebat. Keteguhan karakter atau karakter hebat memegang peranan penting dalam mencegah keterlibatan anak dalam kasus kriminalitas terutama di zaman globalisasi ini. Keteguhan karakter atau karakter hebat ini diilhami dari pola pengasuhan yang tepat serta berbudi pekerti luhur utamanya oleh keluarga. Pola pengasuhan yang tepat dinilai sebagai aspek paling jitu untuk menangkal berbagai pengaruh yang dapat menyesatkan anak.

Pola Asuh yang “Error

Kata “pola asuh” merujuk kepada pola pemberian kasih sayang dalam bentuk kepedulian, pemberian kebebasan, dan rasa tanggung jawab orang tua kepada anak, sebagai hak dalam proses tumbuh kembangnya. Sedangkan kata “error” merepresentasikan kesalahan yang dilakukan secara terus menerus, dalam persepsi bahwa itu benar adanya. Sehingga makna pola asuh yang error disimpulkan sebagai pola pemberian kasih sayang orang tua kepada anak yang dianggap benar, akan tetapi cenderung mendapatkan penolakan dari anak itu sendiri.

Ibarat dua sisi mata uang, pola asuh yang error terhadap anak harus ditinjau dari dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, sudut pandang orang tua dalam mendidik anak. Dominasi orang tua di dalam keluarga, terkadang mengabaikan hak dasar yang dimiliki oleh seorang anak, yaitu kebebasan untuk memilih. Orang tua memaksakan kehendak mereka tanpa memperhatikan keinginan anak.

Sebagai contoh, orang tua mengharuskan anaknya untuk bersekolah di instutusi pendidikan yang mereka kehendaki dengan anggapan bahwa institusi tersebut mampu menjamin masa depan anaknya. Seorang anak terkadang tidak diberi kebebasan untuk memilih institusi yang sesuai dengan minat dan kemampuannya, sehingga mengakibatkan tekanan psikologis pada anak yang pada akhirnya menjadikan bentuk kenakalan remaja sebagai wujud protes terhadap hal tersebut.

Kedua, sudut pandang anak dalam menanggapi makna kebebasan yang diberikan. Kebebasan yang diperoleh, terkadang melupakan prinsip tanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan. Keinginan mencoba hal yang baru menjadikan kebebasan berada pada posisi yang tidak tepat.

Misalnya, kebebasan untuk berteman dengan siapa saja, terkadang malah menjerumuskan mereka ke dalam pola pergaulan yang tidak tepat. Mereka terjebak dalam sebuah ideologi solidaritas sebagai alat ukur kesetia-kawanan. Hasrat masa muda yang tidak ingin dipandang sebagai “anak kecil” atau “belum dewasa” menjadikan tindakan kriminal sebagai tolak ukur dan legitimasi dari kedewasaan.

Permasalahan Dalam Pola Asuh : Mendidik Dengan Kekerasan

Pola asuh yang sudah tepat, kerap kali diwarnai tindak kekerasan. Apapun yang mendasari, tindak kekerasan merupakan permasalahan dalam pola pengasuhan dan tak seharusnya dilibatkan dalam mendidik anak. Pola asuh tidak dapat dikatakan tepat apabila masih menuai berbagai permasalahan di dalamnya. Permasalahan dalam pola asuh didefinisikan sebagai suatu hambatan dalam mencapai luaran optimal hasil penerapan pola asuh yang baik terhadap anak. Permasalah dalam pola asuh dapat diakibatkan banyak faktor. Sebagai contoh, pada zaman modern ini kerap ditemukan permasalahan dalam pola asuh yang melibatkan Behavioral Inhibition orang tua yang terlalu temperamental dalam mengasuh anaknya. Kerap kali sebagai orang dewasa kita merasa lebih paham mengenai apa pun dibandingkan anak-anak. Sebagai orang tua, paman, kakak, maupun guru selalu merasa lebih mengerti dengan yang lebih muda, terlebih terhadap anak-anak. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena toh biasanya, yang lebih tua memang lebih punya banyak pengalaman. Lebih dulu mengerti tentang seluk beluk kehidupan dunia. Dan tentunya lebih dulu mengenyam berbagai jenjang pendidikan. Hanya saja, seharusnya hal tersebut tidak perlu membuat kita merasa selalu lebih superior sehingga merasa punya hak untuk memarahi jika anak melakukan kesalahan. Anak berbuat salah lebih banyak karena mereka belum tahu tentang apa yang mereka lakukan dan tidak berpikir panjang terkait dengan konsekuensi apa yang dilakukan. Itu semua karena anak belum memiliki pengalaman yang banyak. Belum semua hal yang baik telah kita ajarkan kepada mereka.

Mendidik dengan melakukan kekerasan tentu tidak semestinya dianjurkan. Karena bisa jadi, bukannya anak menjadi lebih disiplin dan patuh, namun justru membentuk perilaku buruk di dalam diri si anak. Kekerasan yang kerap dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dapat berupa kekerasan fisik maupun verbal. Tindak kekerasan ibarat bom waktu yang siap meledak kapan saja. Memarahi anak dengan nada memekik serta volume keras, bahkan hingga berucap kata-kata kotor jelas bukan sesuatu yang bijak untuk dilakukan. Teriakan kemarahan selain menimbulkan trauma pada si anak juga membuat mereka suatu ketika akan menantang balik. Mereka akan terbiasa untuk menerima bentakan sehingga sangat mungkin untuk si anak meniru dan kemudian balik membentak atau memarahi temannya, atau anaknya kelak dengan cara yang sama.

Hal ini sama dengan mendidik melalui cara-cara kekerasan fisik, seperti mencubit, menampar, memukul, dan lain sebagainya. Anak akan dengan mudah meniru apa yang kita lakukan. Jika pun kedua hal tersebut dinilai efektif untuk membentuk kedisiplinan si anak, bukan kedisiplinan yang tumbuh dari kesadaran hati si anak tapi lebih banyak karena ketakutan.

Sebuah penelitian dilakukan selama 50 tahun di Universitas Texas dan Universitas Michigan, melibatkan lebih dari 160 ribu anak-anak dan dipublikasikan di Journal of Family Psychology. Riset tersebut menemukan bahwa anak-anak yang dipukul, cenderung memiliki sikap menentang, perilaku anti sosial meningkat, agresif, kesehatan mental yang bermasalah, dan juga kemampuan kognitif rendah. Studi ini memusatkan pada anak-anak yang mengalami pemukulan secara wajar, seperti pukulan di pantat, atau tamparan di tangan dan pemukulan yang bersifat kekerasan yang menyebabkan luka berbahaya. Hasilnya, studi ini mengemukakan bahwa pemukulan yang dianggap wajar sekalipun (dilakukan dengan telapak tangan terbuka pada pantat atau kaki dan tangan anak), secara signifikan berhubungan dengan 13 dari 17 dampak merugikan yang mereka teliti.

Si anak bersedia untuk mandi tepat waktu, pulang bermain sebelum larut, atau makan sampai habis bukan karena mereka menyadari dampak buruk dari tidak disiplin atau manfaat baik untuk dirinya, melainkan lebih kepada rasa takut dimarahi, takut untuk dipukul.

Sebagai orang dewasa seharusnya kita mulai menyadari hal tersebut. Untuk siapa? Tentunya untuk anak-anak dan adik-adik dibawah bimbingan kita, agar mereka mampu tumbuh dengan lebih baik. Menjadi pribadi penyabar, bukan yang emosional.

Ketika kita menyalahkan televisi karena memberi pengaruh buruk pada anak, seperti adegan perkelahian atau bertengkar, marilah kita berkaca, apakah kita sudah tidak melakukan kekerasan verbal dan fisik di rumah atau sekolah?

Laporan UNICEF tahun 2014 menyatakan bahwa 80% orang tua di seluruh dunia melakukan pemukulan sebagai cara untuk mendisiplinkan anak. Dan para peneliti menyebut bahwa pemukulan tersebut lebih banyak memberi dampak negatif dibanding positif. Kemungkinan besar, anak-anak yang kerap bertengkar dan melakukan kekerasan terhadap orang lain bukan karena adegan sinetron di televisi seperti yang banyak kita tuduhkan, melainkan akibat meniru perilaku buruk kita.

Optimalisasi Pola Asuh Tepat Dalam Keluarga

Berbagai kasus yang melibatkan anak saat ini jelas memiliki hubungan linear terhadap pola pengasuhan orang tua yang kurang baik. Pola pengasuhan yang kurang tepat serta berbagai permasalahan dalam pola asuh tentu berkontribusi besar dalam peningkatan jumlah kasus memperihatinkan tersebut. Apabila terus dibiarkan, pola pengasuhan dan berbagai permasalahan di dalamnya dapat dianggap wajar dan dianggap tidak menimbulkan efek yang terlalu signifikan terhadap perkembangan anak. Akibatnya, akan semakin mudah ditemukan kasus kriminalitas yang melibatkan anak kedepannya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu gerakan untuk menekan sekaligus menyadarkan kekeliruan dalam pola pengasuhan anak di zaman modern ini. Optimalisasi pengasuhan diposisikan sebagai gerakan pengasuhan orang tua yang mengajak setiap anak untuk senantiasa melakukan hal-hal yang sejalan dengan norma-norma di masyarakat. Gerakan ini dapat dioptimalkan melalui beberapa cara yaitu:

Pertama, beri ruang untuk anak berpendapat. Anak harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dengan bebas, seperti rasa sedih, senang, takut, dan kecewa, namun tetap dalam kondisi wajar. Orang tua harus dapat berperan sebagai teman serta mendengarkannya, bukan sebaliknya yang justru menyudutkan sang anak. Semakin dini pelatihan pengungkapan ekspresi emosi secara wajar diberikan kepada anak, semakin mudah pula bagi si anak untuk mengendalikan, menguasai, serta mengatur emosinya. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tenang dan mampu menguasai keadaan. Jika itu Anda lakukan dengan bertahap dan sempurna, anak yang cerdas, percaya diri, dan kuat mental-spiritualnya akan "lahir" dari keluarga Anda.

Dengan memberikan peluang kepada seorang anak untuk mendiskusikan segala problema yang mereka hadapi, anak akan terhindar dari sifat tertutup, pendendam dan kebiasaan untuk menyimpan rasa kesal/amarah yang berujung pada kenakalan anak, depresi, degradasi moral dan tindak negatif lainnya. Tak hanya sebatas problema, anak juga diharapkan mampu menceritakan hal yang mereka minati sehingga orang tua mengetahui potensi yang mereka miliki. Hal ini akan mendorong terbentuknya relasi yang kuat serta meningkatkan kepercayaan antara anak dan orang tua, terlebih apabila orang tua memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi si anak.

Kedua, pengambilan keputusan yang demokratis dengan melibatkan seluruh anggota keluarga, termasuk anak. Tujuannya agar mereka merasa mendapatkan legitimasi atau pengesahan atas keberadaannya di dalam keluarga. Mereka akan merasa dihargai dan diperhatikan. Penghargaan atas kehadiran mereka dalam keluarga mendorong anak tampil dalam sikap percaya diri. Membiasakan melibatkan anak dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, khususnya menyangkut kepentingan dirinya sendiri, akan memacu anak untuk terus berpikir dan mengembangkan gagasannya. Tiada lagi permasalahan orang tua yang cenderung memaksakan kehendak terhadap anak apabila sikap demokratis ini terus dipertahankan

Ketiga, orang tua seyogyanya harus senantiasa memberi contoh yang baik dalam mendidik anak. Anak adalah peniru yang ulung, baik dan buruknya sikap orang tua dalam keluarga dapat mempengaruhi psikologi anak di lingkungan sosial. Pola mendidik yang senantiasa berlandaskan atas norma sosial, hukum, budaya, dan agama harus ditanamkan sejak dini sehingga mampu memberikan gambaran kepada mereka tentang ikatan aturan yang harus dipatuhi dalam bermasyarakat. Berperilaku teladan di hadapan anak diharapkan mampu memberi pengarahan sekaligus pengajaran untuk selalu bersikap positif bagi si anak.

Keempat, optimalisasi pengawasan orang tua terhadap lingkungan pergaulan anak. Tujuannya agar anak dapat terhindar dari lingkungan sosial yang dapat berdampak buruk dan membahayakan. Orang tua, sesering mungkin harus tetap mengawasi lingkungan tempat anaknya berinterkasi. Adapun beberapa bentuk pengawasan orang tua terhadap lingkungan anak seperti memastikan anak bergaul dengan siapa, lingkungan yang bagaimana dan mendapat pengaruh dari siapa saja. Orang tua sedapat mungkin harus melakukan pendekatan terhadap anaknya. Dengan begitu orang tua dapat memberikan masukan, motivasi, nasihat, sekaligus menyisipkan dampak negatif apabila anak berhubungan dengan lingkungan yang negatif

Terakhir dan yang paling krusial ialah memberikan perhatian yang cukup kepada anak. Setiap insan di dunia butuh perhatian orang lain, begitupun dengan anak. Bagi sebagian besar anak, kenikmatan mendapat perhatian dari keluarga melebihi kenikmatan apapun. Perhatian dapat diberikan secara maksimal setiap saat sesuai tahapan perkembangan anak. Dengan berkembangnya teknologi di zaman globalisasi sekarang, amat dibutuhkan orang tua yang dapat mengawasi, mendidik serta memberikan arahan yang baik terhadap anaknya agar tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif.

Perhatian juga dapat diwujudkan baik melalui hadiah atau reward maupun hukuman atau punishment. Pujian bukan selalu merupakan bentuk kasih sayang dan sebaliknya marah bukan selalu bentuk kebencian. Jika mengutip pandangan umum teori behaviorism yang berendapat bahwa perilaku manusia dapat dikembangkan dengan menggunakan hadiah atau reward dan dikurangi menggunakan hukuman atau punishment.

Jika orang tua hanya diam tanpa ada tindakan sama sekali entah pemberian reward untuk setiap perbuatan yang baik sehingga dapat terus berkembang dan punishment untuk perbuatan yang buruk agar dapat berkurang, apakah pola perilakunya dapat dengan benar kita bimbing, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab?

Berkaca dari salah satu ajaran di dalam paham filsafat cina yaitu confusianism yang berbunyi “Jangan pernah lakukan pada orang lain, hal yang tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”, nampaknya jawaban atas permasalah diatas dapat diatasi. Apabila Anda ingin memiliki hubungan dan komunikasi yang baik dengan anak, jangan pernah mendiamkan dan terkesan pasif karena alasan sayang, jangan pernah pula memarahi anak tanpa memberi pengertian atau alasan yang jelas mengenai kekeliruannya, karena anak akan cenderung melakukan hal yang sama kepada anda namun dengan motif yang sangat berbeda, yakni rasa kesal, amarah, ataupun dendam.

Di akhir saya mengambil beberapa konklusi dari pemaparan diatas dan menjadikannya sebagai bahan refleksi terhadap permasalahan orang tua dan anak. Karena bagi saya salah satu faktor lahirnya generasi yang unggul diawali dengan pola asuh yang tepat dan keluarga yang harmonis, karena karekter anak akan dibentuk mulai dari keluarga. Jika pola asuh keluarga tepat dan keluarga harmonis, maka segala kegiatan postif dan proses pembelajaran juga akan terfasilitasi dengan baik.

Efektifitas gerakan sosial ini harus dimulai dengan pembentukan kesadaran antara orang tua dan anak yang mengacu kepada metode kreatif dan solutif. Sehingga dalam skala besar dapat membantu mengurangi terjadinya kekerasan atau permasalahan yang melibatkan anak. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini, begitupun keyakinan untuk menciptakan perubahan kehidupan yang lebih nyaman dan aman bagi anak. Pertanyaannya sekarang ialah, apakah anda ingin menjadi bagian dari perubahan?